Jumat, 20 Agustus 2010

Cara Menjadi Anak Yang Diberkati Allah

Tuhan Yesus memberikan suatu ketetapan bahwa syarat untuk dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga adalah manusia harus mengambil sikap menjadi seperti seorang anak kecil (Lukas 18:15-17, “...Sesungguhnya barang siapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”)

Secara logika hal ini sangat sulit diwujudkan, bahkan mustahil! “Bagaimana mungkin orang yang sudah tua harus kembali menjadi anak kecil?” Pertanyaan serupa juga disampaikan oleh Nikodemus kepada Tuhan Yesus, tetapi dengan tegas Dia menjawab, “…sesungguhnya jika seseorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah….” (Yohanes 3:1-21) Tuhan Yesus tidak mau berkompromi dengan Nikodemus mengenai ketetapan ini.

Sangat sulit bagi kehidupan yang sudah tua untuk menerima ketetapan Tuhan Yesus ini. Mereka memiliki gengsi tinggi karena merasa dirinya berpengalaman – sudah banyak makan asam garam dunia. Bagaikan sebatang pohon tua yang mustahil diluruskan karena sudah telanjur bengkok, mereka tidak mau membuka hati untuk menerima Firman Tuhan ini! Sama seperti murid-murid Yesus, walaupun mereka selalu bersama Yesus, ternyata mereka tidak membuka hati untuk Firman-Nya sehingga mereka marah kepada anak-anak yang datang kepada-Nya. Mengapa marah? Karena mereka tidak dapat bersikap seperti anak-anak!

Saat mendengar Firman Tuhan, jangan kita hanya menggunakan otak tetapi mintalah kepada Tuhan untuk membuka akal budi kita supaya kita dapat menerima firman-Nya dengan iman dan hati. Bagi Allah tidak ada yang mustahil! Apakah iman terhadap firman ‘bagi Allah tidak ada yang mustahil’ hanya kita praktikkan saat menghadapi penyakit, masalah pekerjaan atau hal-hal lahiriah lainnya? Yakinlah bahwa dalam hal ‘menjadi anak-anak’ pun, kuasa Allah tetap sama!

Seorang anak – terutama bayi atau anak kecil – bergantung penuh pada orang tuanya! Kalau orang tua setia beribadah, anak-anaknya tentu dibawa setia beribadah juga. Namun dalam hal rohani sering kali kita melambatkan pekerjaan Allah di dalam hidup ini. Semestinya Allah mau menggendong dan menuntun kita, tetapi kita menolaknya karena kita tidak mau memosisikan diri sebagai anak yang bergantung sepenuhnya kepada Dia.

Alkitab mencontohkan satu kehidupan yang sudah tua tetapi dapat menempatkan diri sebagai seorang anak kecil. Mazmur 131:1-2, “Nyanyian ziarah Daud. TUHAN, aku tidak tinggi hati dan tidak memandang dengan sombong; aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku. Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya, seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku.”

Secara fisik tentunya Raja Daud sudah tua saat menulis Mazmur 131 ini, tetapi ia tidak malu menempatkan dirinya sebagai ‘anak yang baru disapih’. Raja Daud membuka hatinya, bergantung dan berharap sepenuhnya hanya kepada Allah. Itu sebabnya dia berseru kepada bangsa Israel, “Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!” (Mazmur 131:3 – berharap penuh kepada Tuhan seumur hidup)

Mungkin sekarang timbul pertanyaan dalam hati kita, “Mengapa saya membaca dan menuruti tulisan untuk bangsa Israel? Bukankah saya orang Indonesia yang tentu juga memiliki buku-buku filsafat sendiri?” Ingatlah, Alkitab ini Firman Allah! Allah menuntun bangsa Israel dan membuat mereka menjadi suatu sejarah besar. Suatu peristiwa yang bernubuatan kekal ini tentu sangat bermanfaat bagi kita!

Alkitab sendiri menegaskan dalam Roma 15:4-7, “Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci. Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu sesuai dengan kehendak Kristus Yesus sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus. Sebab itu terimalah satu akan yang lain sama seperti Kristus juga telah menerima kita untuk kemuliaan Allah”.

Ayat di atas menyatakan bahwa Kitab Suci orang Yahudi dahulu (Perjanjian Lama) – termasuk Mazmur 131 – bermanfaat memberi nasihat atau pelajaran agar kita dapat menyatu – bekerja sama – untuk keselamatan. Orang Yahudi sangat sulit menyatu dengan bangsa non Yahudi, bahkan cenderung merendahkan karena mereka mempunyai banyak alasan untuk berbangga atau menyombongkan diri, antara lain: menerima langsung 10 hukum Allah yang diwakili Musa, memiliki hukum Taurat yang begitu hebat, dan mempunyai Allah yang luar biasa.

Tetapi mengapa Tuhan meminta Paulus (Yahudi) menulis surat kepada orang Roma (non Yahudi)? Supaya Tuhan dapat juga menyelamatkan orang-orang yang bukan Yahudi (Roma 15:16). Petrus pun semula tidak mau berteman dengan bangsa kafir – non Yahudi – tetapi Tuhan mengatakan, “Petrus, berangkatlah bersama-sama dengan mereka, jangan bimbang, sebab Aku yang menyuruh mereka ke mari.” (Kisah Rasul 10:19-21,28-36). Alhasil: terwujudlah pertemuan dan persatuan dua kelompok, yaitu Yahudi (Petrus) dan Yunani (Kornelius).

Intinya adalah supaya kita dapat menyatu sama seperti Kristus (orang Yahudi secara lahiriah) mau menerima, menyatu dan menyelamatkan kita – bangsa Kafir.

Dari antara bangsa Yahudi yang begitu sombong (misal: Saul), ada pribadi Daud yang dipilih Tuhan. Mengapa Daud (= “yang dikasihi”) dipilih? Melalui Mazmur 131 kita mau belajar bagaimana sikap dan praktik hidup Daud sebagai orang yang dipilih Tuhan.

1. Rendah hati

“TUHAN, aku tidak tinggi hati, …”

Daud dipilih Tuhan menjadi raja Israel menggantikan Saul yang sombong karena Daud rendah hati. Setelah menjadi seorang raja, Daud tetap rendah hati. Sikap hati sangat menentukan! Kalau hati tidak beres, hal-hal lain menjadi tidak beres juga.

Amsal 4:20-22 mengungkapkan, “Hai anakku, perhatikanlah perkataanku, arahkanlah telingamu kepada ucapanku; …simpanlah itu di lubuk hatimu.” Jika kita menerima pemberian atau hadiah dari seseorang yang kita kasihi atau kagumi, pasti kita menyimpan hadiah itu dengan sebaik-baiknya di tempat yang sangat istimewa dan menjaganya dengan sungguh-sungguh.

Bagaimana sikap kita terhadap Firman Allah yang kita baca atau dengar? Apakah kita menghargai Firman Allah sebagai pemberian yang sangat berharga dari Allah yang mengasihi kita sehingga kita menjaga dan ‘menyimpan’nya di dalam hati dengan sungguh-sungguh? Firman Allah itu sangat luar biasa karena sanggup memberikan kehidupan, kesembuhan, ketenangan, kebahagiaan, kedamaian, bahkan keselamatan.

Jangan menyimpan Firman Allah di tempat yang tidak layak! Simpanlah Firman Allah yang sempurna itu di dalam lubuk hati kita dengan sebaik-baiknya! “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23)

Itu sebabnya kita harus memiliki ‘kerendahan hati’, karena hati yang ‘tinggi’ – som-bong – tidak dapat menyimpan Firman Allah yang rendah hati! Isilah hati hanya dengan firman Allah, jangan diisi dengan hal-hal lain seperti: kebencian, dendam, sakit hati, kekecewaan, dan sebagainya. Simpanlah firman Allah karena di dalam-Nya hanya ada kasih semata.

Daud berkata, “Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau.” (Mazmur 119:11) Daud sebagai seorang raja – pemimpin negara – harus menyimpan Firman Allah supaya ia tidak berdosa kepada Allah. Artinya, hati yang berisi Firman Allah mampu menghindarkan manusia dari perbuatan dosa. Mari berdoa buat para pemimpin kita supaya mereka menyimpan Firman Allah di dalam hatinya, karena tidak ada sesuatu apa pun di dunia ini yang mampu menolong dan menyelamatkan manusia selain firman Allah!

Apakah kehidupan Daud bersih dari dosa? Tidak! Daud banyak berbuat dosa bahkan sangat keji dan mengerikan, ia membunuh Uria dan merebut istrinya (2 Samuel 12:1-7). Namun Daud menyadari kesalahannya dan menulis, “Sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosaku, hapuskanlah segala kesalahanku! Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dariku!” (Mazmur 51:11-13) Sedalam itu Daud telah jatuh tetapi Tuhan mengangkatnya kembali. Mengapa?

Karena Daud bersikap rendah hati dan mau ditegur Tuhan!

Daud memohon pembaharuan (pemulihan) supaya hatinya yang sudah hancur kembali merasakan sukacita. Hanya Firman Allah yang dapat memulihkan dan mengembalikan sukacita dalam hati. Mulut-bibir (perkataan) seorang suami yang hatinya menyimpan Firman Allah dapat membangun kembali istri yang sudah patah hati, mulut istri yang menyimpan Firman Allah akan mengangkat suami yang jatuh, dan kata-kata ayah-ibu yang menyimpan Firman Allah dapat membangkitkan anak-anak yang putus asa (Epesus 6:4). Pastikan kita menyimpan Firman Allah di dalam hati agar dapat menjadi berkat bagi sekeliling kita.

2. Tidak memandang dengan sombong

“TUHAN,… aku… tidak memandang dengan sombong;…”

Mungkin kita merasa aneh saat membaca ayat ini dan bertanya di dalam hati, “Apa artinya? Mungkinkah mata– jasmani – dapat bersikap sombong?” Alkitab kembali menyatakannya, “Ada keturunan yang mengutuki ayahnya dan tidak memberkati ibunya. Ada keturunan yang menganggap dirinya tahir tetapi belum dibasuh dari kotorannya sendiri. Ada keturunan berpandangan angkuh yang terangkat kelopak matanya. Ada keturunan yang giginya adalah pedang, yang gigi geliginya adalah pisau untuk memakan habis dari bumi orang-orang yang tertindas, orang-orang yang miskin di antara manusia.” (Amsal 30:11-14)

Melalui hikmat yang diberikan Tuhan kepada Raja Salomo, jelas sekali ditunjuk adanya keturunan yang matanya sombong. Ini merupakan ciri-ciri keturunan manusia. Jangan kita mau menjadi seperti mereka, kita harus berubah menjadi keturunan Allah. Barang siapa percaya kepada Tuhan Yesus, ia mendapat hak untuk menjadi anak-anak Allah (Yohanes 1:12).

Selanjutnya, oleh pimpinan Roh Kudus di dalam hidup ini, kita mampu memanggil Allah dengan sebutan “Abba, Bapa”, suatu sebutan yang mengandung sikap penghormatan kepada Allah (Roma 8:15).

Warning: Allah – sebagai Bapa – sangat menyesal dan kecewa terhadap bangsa Israel – anak sulung-Nya – karena tidak menghormati-Nya (Maleakhi 1:6).

Bersyukurlah, oleh kasih pengurbanan Tuhan Yesus Kristus di kayu salib, kita – bangsa kafir yang tidak mengenal Allah dan sedikit pun tidak ada pengharapan keselamatan – telah mendapat kesempatan menjadi ‘anak-anak Allah’, dan melalui pimpinan Roh Kudus kita dimampukan untuk memanggil-Nya “Ya Abba, ya Bapa.” Puji Tuhan!

Tuhan Yesus sebagai ‘Anak Allah’ telah memberikan teladan ‘sikap rendah hati’. Dia yang adalah Tuhan, rela merendahkan diri menjadi manusia, seorang hamba, bahkan mati di atas kayu salib untuk menebus kita. Jika kita mau disebut ‘anak-anak Allah’, belajarlah rendah hati seperti Tuhan Yesus! (bdg Matius 11:29)

3. Jiwa menjadi tenang

“TUHAN, … aku telah menenangkan … jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, …”

a. Puas minum air susu murni – Firman Allah

Di dalam bahasa Mandarin ada dua kata, yaitu: “tenang” dan “menenangkan” yang berarti “sama level – sama derajat.” Sangat indah jika di dalam hubungan sesama anggota tubuh Kristus (suami-istri, orang tua-anak, gembala-jemaat, sesama orang percaya, teman-teman di sekolah, dsb.) didasari sikap yang sama-sama ‘merendahkan diri’.

Bukankah Bapa kita satu? Tidak mungkin jika masing-masing pribadi yang sama-sama dipenuhi Roh Kudus dan menghormati Bapa yang satu ini saling bertengkar! Kalau kita meletakkan seorang bayi di satu tempat yang sama dengan bayi lainnya, tidak mungkin mereka bertengkar. Mengapa? Sebab bayi-bayi tersebut memiliki ‘kerendahan hati’ yang sama. Hati yang tenang tidak akan membeda-bedakan tetapi membuat level yang sama – meratakan.

Rindukah kita memiliki ketenangan hidup seperti Daud? Contohlah sikap Daud: kita harus puas minum susu murni – Firman Allah – sehingga dapat merendahkan diri satu dengan yang lainnya, menyadari bahwa kita sama levelnya, mantan orang berdosa yang telah diangkat menjadi anak-anak Allah. Buanglah semua kesombongan diri, belajarlah saling menghargai sama seperti Allah yang tidak pernah membeda-bedakan karena Dia mencintai kita semua.

Rasul Paulus merupakan contoh kehidupan yang tidak lagi membeda-bedakan. Saat Paulus – orang Yahudi, sekaligus Parisi – bertobat, ia dapat menyamakan level dirinya kepada siapa ia bergaul. Rasul Paulus berkata, “…bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi,… Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat,… Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus,… Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah,…” Untuk apa? “Supaya aku dapat memenangkan beberapa orang dari antara mereka.” (1 Korintus 9:20-23)


Hati Paulus sudah diubah, hatinya penuh dan dipuaskan oleh Firman Allah. Proses keubahannya bukan hanya sesaat melainkan sepanjang hidupnya. Yesus yang ada di dalam hatinya terus menerus mengubahnya dari hari ke hari sehingga ia suka bergaul dengan semua lapisan atau golongan masyarakat. Paulus paling banyak menulis, “…tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, …tiada orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.“ (Galatia 3:28; Kolose 3:11) Mengapa Paulus dapat menulis itu semua? Karena hati dan jiwanya tenang, Firman Allah membuatnya tenang, tidak membeda-bedakan – sama level. Puji Tuhan!



b. Rela disapih untuk bertumbuh



Seorang anak yang disapih berarti dia mulai belajar makan untuk pertumbuhannya. Mungkin ia merasa sedikit menderita, kurang nyaman, tetapi Daud rela masuk dalam pengalaman ini. Ia tetap tenang, tidak mengeluh, tidak mengomel, keep silent. Mau tenang seperti Daud? Makan Firman Allah sampai kenyang!



Yesus adalah teladan sempurna! Saat Dia di salib, Dia tetap tenang – diam; saat diadili, dituduh dari kanan-kiri, Dia tetap diam. Keep silent mengandung arti dungu, bodoh, stupid. Yesus dianggap bodoh karena selalu diam, tidak membela diri, tetapi Rasul Paulus – kehidupan yang sudah diubahkan – berkata, “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia … Apa yang dianggap bodoh oleh manusia dipilih Allah untuk mempermalukan orang-orang berhikmat,...” (1 Korintus 1:25-29). Mengapa Yesus diam? Karena Dia bukan anak duniawi, Dia anak Allah!



Mari kita belajar diam. Suami diam – tidak banyak menuntut, istri diam – tidak banyak mengomel, tetap tenang seperti Daud, seperti Yesus, supaya posisi kita sebagai anak tetap terpelihara.



Apakah kita mengalami penderitaan? Kurang dihargai sesama anggota gereja? Kurang mendapat ‘perhatian’ rekan-rekan kita? Berbagai macam perasaan yang kurang enak muncul di hati kita? Buanglah semua itu, milikilah janji Allah di dalam Roma 8:12-17, “… jika kita adalah anak, kita juga adalah ahli waris, maksudnya adalah orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” Tubuh boleh mengalami penderitaan tetapi hati ini adalah ‘hati anak Allah, hati yang seperti Yesus, hati yang rela berkorban.’



Mari kita berkomitmen untuk bersikap seperti Daud dan mempraktikkan dalam keseharian hidup agar pengalaman Daud menjadi pengalaman kita juga. Jadilah anak-anak yang diberkati Tuhan.



Amin!